Untuk kamu, seseorang yang pernah
menjadi kekasihku.
Apa kabar? Aku harap kamu baik. Ah
aku lupa, selama ada dia kau bilang kau akan baik-baik saja kan? Baiklah, akan
kuralat. Apa dia masih ada disisimu?
Aku tidak ingin menjadi seorang
pendendam. Tidak sama sekali. Aku berusaha mengikhlaskan semuanya. Semua luka
yang kau gores tanpa rasa bersalah. Semua luka yang pernah kau ukir dengan
sebegitunya, membuatku merasa sesak dan sakit. Rasa sakit yang berwujud air
mata. Aku heran, lukanya tak kasat mata, tapi kenapa sakitnya begitu terasa?
Aku tidak membencimu. Setidaknya itu
yang kuharapkan.
Kamu memang sinting karena telah
menduakanku berulang kali. Tetapi, apakah kau tahu? Aku lebih sinting, karena
meski kau menduakanku, aku tetap menyayangimu. Aku menganggap itu konyol.
Kamu datang, membuat semua mimpiku
terasa lengkap. Aku selalu tertawa geli saat mengingat semuanya sekarang.
Setelah luka itu sembuh, setelah aku berhasil mendepakmu dari hatiku. Lengkap?
Itu gila! Kamu justru sang ‘destroyer’, berusaha menjatuhkan semua mimpi yang
perlahan-lahan kubangun.
Aku masih ingat, hubungan pertama
kita. Kamu datang dengan sejuta pesona, membuatku terlena. Membuatku gelap
mata. Aku bahkan tidak perduli akan makian yang kau lontarkan saat hubungan
kita sedang tidak baik. Itu, demi apa? Demi kamu!
Tetapi, faktanya, aku hanya yang
kedua. Aku bahkan masih berusaha mempercayaimu saat fakta itu sudah ada di
depan mata. Aku muak. Kamu pembohong besar. Kamu lelaki bermulut buaya. Lalu,
hubungan kita kandas begitu saja.
Ada sedikit sesal yang datang
menyapa. Tetapi, aku tetap berdiri kokoh. Berusaha membuktikan padamu aku tak apa-apa.
Aku baik-baik saja. Ah, kamu tahu, aku ternyata seorang pembohong yang hebat
ya? Buktinya, kamu tertipu? Sudahlah, mengaku saja!
Selang beberapa bulan, kamu datang
lagi. Mencoba merajuk padaku. Cih, itu kekanakan, bangsat! Dan lagi-lagi aku
melakukan hal yang tidak waras. Aku kembali menerimamu. KITA BALIKAN! BALIKAN!
Gila!
Awalnya semua berjalan seperti yang
aku harapkan. Awalnya, tak lama setelah itu, sebuah fakta yang menyakitkan
kembali menghantamku, kamu selingkuh (lagi). Aku ingat bagaimana amukan
kemarahanku saat itu. Aku memakimu. Kamu hanya diam tanpa memberi penjelasan.
Diamnya kamu, membuatku semakin marah.
Dan seperti yang sebelumnya,
kata-kata ‘putus’ kembali terlontar. Dan lagi-lagi aku kalah cepat, kamu
terlebih dahulu memutuskanku, seperti sebelumnya. Dasar brengsek! Kenapa jadi
aku yang terlihat bersalah di hadapan sahabat-sahabatmu. Kurang ajar! Ternyata,
selain seorang pembual, kamu juga pintar memanipulasi fakta ya? Hebat!
Aku berusaha memaafkanmu, meski kata
maaf itu tak pernah terlontar sekalipun dari mulutmu. Hidupku terus berlanjut,
tentu saja! Berlama-lama galau, karena orang sepertimu? Cih, maaf saja ya,
bung. Aku masih waras!!
Hidupku berjalan dengan begitu
tenang tanpa kamu. Hariku baik. Tentu saja. Tetapi, aku masih tidak dapat
melupakanmu. Beberapa kali aku mengakui pada diriku sendiri, bahwa aku
merindukanmu.
Dan beberapa bulan setelah kita
putus, kamu kembali datang. Untuk yang ketiga kalinya. Aku berusaha mengukuhkan
hatiku, untuk tak tergoda dengan semua perhatianmu. Kamu tak menyerah. Kamu
tetap mendesak masuk kembali ke dalam kehidupanku. Aku menyerah. Hanya dengan
tiga kalimat itu.
“Maafkan aku.”
“Aku menyesal.”
“Bantu aku memperbaiki semuanya.
Berikan aku kesempatan.”
Dan kali ini, aku sudah berjanji
pada diriku sendiri. Ini adalah kesempatanmu yang terakhir. Cukup tiga kali.
Aku tak akan sudi dengan yang keempat. Persetan dengan perasaanku.
Dan ternyata, benar saja. Kamu
kembali menghancurkan semuanya. Kali ini, lebih dalam lagi luka yang kau
torehkan. Kamu berkata pada sahabatmu, bahwa aku hanya anak kecil yang tak
mengerti apa-apa tentang hubungan. Bahwa aku hanya si dungu di dalam hubungan
kita. Bahwa aku hanya boneka untukmu.
Sialan! Serendah itukah aku
dimatamu? Aku tak perduli, aku kalap, kali ini semua berakhir tanpa kata ‘putus’,
biar saja, aku tak perduli! Aku tak lagi ingin perduli! Aku berhenti untuk
membuktikan apapun padamu, karena aku sadar, kamu hanya lelaki brengsek yang
menganggap hatiku adalah mainan. Kali ini aku benar-benar sadar! Persetan
dengan semua perasaanku. Persetan dengan rasa sakit ini. Persetan dengan air
mata yang meluncur deras tanpa bisa kutahan. Satu yang pasti, aku ingin jauh
darimu! Jauh, sejauh-jauhnya.
Kalau aku bisa mem-black-list kamu
dari ingatanku, sudah pasti akan aku lakukan sedari dulu. Tetapi, nyatanya,
kita kan manusia, kita bukan sistem, kita punya hati. Aku sadar, mungkin kamu,
adalah cara yang dikirim Sang Pencipta untuk menjadikan aku seseorang yang
kuat, yang tangguh!
Aku tak bermaksud jahat padamu,
dengan menceritakan kembali semua ‘kebaikanmu’. Aku hanya ingin kamu sadar.
Bahwa kamu salah. Hanya itu. Aku minta, aku adalah gadis terakhir yang hatinya
kau jadikan candaan. Aku yang terakhir, harus!
Terima kasih untuk semua kebaikan
maupun hal yang kurang baik selama ini. Terima kasih untuk segalanya. Kamu
membuatku menjadi orang yang kuat!
Aku juga ingin berterima kasih untuk
semua kenangan manis juga perhatianmu yang bisa membuatku melambung ke langit,
dulu.
Karena, bagaimanapun, kamu pernah
menjadi orang yang begitu kusayang. Dan mungkin kamu pun pernah menyayangiku,
meski hanya sedikit. Entahlah, aku tak mau tahu. Itu hanya masa lalu kan?
Waktu beranjak. Kita semakin dewasa.
Berubahlah. Aku hanya prihatin dengan kisah cintamu yang akhirnya
ya-begitu-begitu-saja. Aku tahu, kau pasti mengerti maksudku.
Aku tidak membencimu. Sungguh. Aku
sudah benar-benar bisa mengikhlaskan semuanya. Aku sudah sedari lama
memaafkanmu. Aku juga minta maaf ya, untuk kata-kata kasar yang kulontarkan di
surat ini.
Kisah aku-kamu. Hanya masa lalu. Kamu
hanya bagian dari perjalan cintaku. Kamu adalah pelajaran yang takkan pernah
bisa kulupakan. Terima kasih untuk segalanya.
Doakan aku ya, agar bisa menggapai
dia.
PS : Kita berteman, sekarang?
Tertanda,
Mantan kekasihmu, yang
dulu kau sakiti tiga kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar