Teruntuk Bumi written by Anita Aregall Soler.
Dibalik 1174 kata :
Ide untuk nulis cerita ini dateng tbtb pas lagi ngerjain Ujian
Sekolah tadi;3 Dibalik 11174 kata ini banyak typo, EYD abal. Meskipun saya
sudah coba mengoreksi. Mohon kriktik dan sarannya. Dan maaf untuk
categoriesnya, abis bingung:( Terima Kasih!:)) Happy Reading;)
***
Bersama surat ini,
kukirimkan sebuah
kisah. Bukan rangkaian kata yang indah memang. Bukan kisah semanis gula. Bukan
pula kisah semudah sinetron kacangan yang sering kalian lihat.
Aku hanya ingin bumi tahu dan mengerti.
Hanya itu. Surat ini khusus kutulis untuk 'bumi'.
Gadis itu gila! Itu yang selalu
terlintas di benakku. Kehilangan sesuatu yang sangat berarti untuk seorang
wanita, membuatnya dingin tak terkenali lagi. Dia kokoh bak menara yang
menjulang tinggi. Tetapi, di mata nya terlihat begitu jelas kekosongan hati.
Sikap nya angkuh. Siapa sangka wanita
tak punya hati seperti dia, menyimpan begitu banyak cinta? Memendamnya
bertahun-tahun. Membiarkan rindu yang mengoyak hati. Mengabaikan keinginan hati
untuk memiliki, yang setengah mati ditahannya.
Dalam diam, dia berjuang melawan semua
traumanya. Melawan ketakutan dirinya sendiri. Saat begitu banyak wanita menyerahkan
kesuciannya atas nama cinta, tidak dengan dia. Dia bahkan menghabiskan 8 tahun
hidupnya terkoyak sepi di balik jeruji besi. Demi menebus kesalahannya yang
telah tanpa sengaja menghilangkan nyawa orang yang merenggut kesuciannya. Itu
adalah tindakan pembelaan diri, bukankah begitu?
Saat ini, aku baru tahu, kalau wanita
gila itu pintar merangkai kata. Melukiskan perasaan lewat bait-bait puisi yang
dia simpan rapi, di sudut selnya. Tanpa ada seorang pun yang tahu hingga tadi.
Kau tahu bagaimana isi puisi-puisi itu?
Aku berani bertaruh nuranimu seperti terkoyak saat membacanya. Akan kukutip
petikan dari salah satu puisi yang dibuat oleh wanita itu.
Aku
Setitik dosa
Yang kehilangan jiwa
Hidup dengan nelangsa
Petikan dari puisi lainnya.
Memutuskan memendam
Membiarkan waktu berlalu sia-sia
Mengatasnamakan kewarasan
Sebagai alasan untuk terus diam
Dia wanita yang tangguh, menantang
pahitnya hidup. Terjerumus dalam kegelapan, yang mengoyak nurani. Dia tak
tersentuh. Dan itu memang yang dia inginkan.
Sebelum kehidupannya berubah, wanita
gila itu seperti gadis-gadis lain pada umumnya. Senyumnya teduh bak pohon di
padang tandus. Tutur katanya halus, begitu juga hatinya. Dia memang bukan
wanita yang feminim, tapi sungguh pancaran kecantikannya luar biasa.
Dia seorang pemimpi besar, yang sedang
menuju tangga kesuksesan. Mempunyai sahabat yang selalu disisinya. Mempunyai
keluarga yang sangat bangga akan dirinya.
Tapi, itu dulu, sebelum semua berubah.
Sebelum hari naas itu terjadi. Sebelum kesuciannya terenggut oleh wanita bengis
yang tak tahu diri. Sebelum dia terpenjara jeruji besi.
Wanita gila itu telah memendam
perasannya selama 13 tahun. Ironis? Aku tahu! Memutuskan memendam perasaan
hingga terasa menyiksa diri. Mengubur dalam-dalam semua keinginan untuk
memiliki. Entah lelaki itu masih ingat atau tidak padanya. Karena, wanita gila
itu dan lelaki yang dia cintai hanya sebatas teman sekelas waktu tahun akhir di
Sekolah Menengah Pertama. Hanya sebatas itu, ikatan yang tercipta.
Saat dia mulai menjalani hidupnya dibalik
jeruji besi, sahabatnya satu persatu pergi. Karena wania gila itu yang memaksa.
Mendepak mereka dari hidup yang tak lagi dia ingini. Dia memang gila! Dia tak
bersyukur atas karunia-Nya. Dia, wanita gila itu, semakin tak terkenali.
Ayahnya hanya bisa meremas dada yang
terasa sesak, melihat putri pertamanya seperti itu. Dingin, tak punya hati.
Lelaki paruh baya itu tak pernah menyerah, dia selalu di samping putrinya,
menyemangati sang wanita gila. Meski sang putri puluhan kali berusaha mendepak
lelaki itu pergi.
Sang ibu yang melahirkan wanita itu,
selalu menangis terisak, teriris pilu, setiap melihat putrinya tersebut.
Tetapi, dia berusaha tegar, sekuat tenaga menahan hatinya yang terasa lelah.
Sang ibu selalu tersenyum hangat di depan wanita yang selalu menatap kosong.
Atau terkadang menerawang.
Wanita gila itu terlalu larut dalam
luka yang menyiksa. Memenjarakan dirinya sendiri, hingga dia hampir mati
terkoyak sepi. Tapi, dia tak perduli.
Sebegitu dalamnya kah luka yang
tercipta? Hingga dia buta. Hingga kasih sayang dari orang-orang terkasihnya
bahkan tak bisa menembus dinding tebal yang wanita itu ciptakan.
Sang ibu meninggal karena sebuah
kecelakaan pesawat. Dan wanita itu diizinkan menghadiri pemakaman ibunya.
Wanita itu berdiri angkuh di depan pusara sang bunda. Tak menangis. Tak
terlihat sedih. Tatapannya datar.
8 tahun sudah sang wanita gila, berada
di balik jeruji besi. Apakah yang menimpa wanita gila itu sudah mematikan
nurani? Menghilangkan akal sehatnya? Aku tidak tahu.
Kini, wanita itu sudah bisa menghirup
udara bebas. Melihat indahnya matahari. Memandang langit, bukan hanya melalui
celah jendela selnya. Aku kira dia akan berubah. Ternyata tidak.
Dia tetap seperti itu, dingin tak
tersentuh. 13 tahun dia tak pernah mengeluarkan suara untuk berbicara kepada
orang lain. Selama 13 tahun dia hanya menggeleng atau mengangguk.
Busana yang selalu dipakainya adalah
hitam. Aku tak mengerti kenapa. Dia sangat suka warna hitam. Sangat. Sudah
sebegitukah dalamnya kah dia jatuh? Apakah itu ungkapan perasaannya? Hitam. Aku
bergidik ngeri memikirkan itu.
Sebegitu dalamnyakah dia terporosok
dalam kegelapan, memenjarakan diri juga hati? Hingga dia mati rasa.
Aku kira hatinya sudah mati. Tapi
tidak, ternyata tidak. Suatu malam, aku melihatnya di sudut kamar dalam
kegelapan. Wanita gila itu terisak sebegitu dalam. Menangisi kebahagiaan
seseorang. Menangisi lelaki yang dia kasihi.
Aku termenung di depan pintu kamar.
Menatap tubuhnya yang terlihat rapuh. Ini suara pertama yang aku dengar dari
wanita itu, meski hanya berupa isakan, setelah 12 tahun lamanya.
Tangisannya membuat siapapun yang
mendengar merasa teriris. Aku maju 3 langkah, memasuki kamarnya. Namun dia
sadar akan kehadiranku, dia menghentikan tangisnya, lalu beranjak berdiri.
Melewatiku tanpa satu kata pun, dia pergi.
13 tahun dia hidup seperti orang mati
yang tak punya hati. Dia ada, tapi tak benar-benar ada.
Hari itu, untuk pertama kalinya dia
berbicara dengan ayahnya dan juga adiknya. Dia mengatakan beberapa kalimat yang
membuat kedua orang yang sangat mengasihinya itu sesak seketika.
“Maafin kakak. Kakak sayang ayah, kakak
juga sayang adek.”
Dan setelah itu, terdengar jeritan
rapuh milik adiknya. Adiknya mengetahui semua penderitaan kakaknya lewat
untaian kalimat yang kakaknya torehkan di sebuah buku agenda. Perjalanannya
selama 13 tahun. Adiknya tak kuasa membaca buku itu sampai habis. Tubuhnya
lemas. Air mata mengalir deras.
“Kakak, aku sayang kakak. Kenapa kakak
begitu jahat sama diri kakak sendiri?”
Dan disinilah sekarang wanita itu
berada. Terbaring di dalam tanah. Melepas semua bebannya di dunia. Meninggalkan
orang-orang yang mengasihinya. Dia pergi menyusul sang bunda. Pergi untuk
kembali, kepada Sang Pencipta.
Gundukan tanah itu masih basah, begitu
juga dengan air mata adiknya yang tak berhenti mengalir. “Kakak, kakak bahagia
disana? Ayah sedih banget karena kepergian kakak. Banyak orang yang sedih atas
kepergian malaikat aku, ayah, dan juga ibu.”
"Kakak, bahagia ya disana sama
ibu. Aku seneng kakak pergi, itu lebih baik, kak. Ketimbang melihat kakak bak
wanita yang mati. Hati aku sakit kak. Sakit.”
Sang adik menangis meraung seperti
orang sakit jiwa, hingga senja mulai menyingsing. Sang adik tahu pasti, kemana
langkahnya setelah ini. Ketempat seorang lelaki yang telah beristri.
Menyampaikan perasaan kakaknya, yang bahkan memendam hingga mati.
Sang adik tak mengharapkan apapun,
hanya ingin si lelaki tahu bahwa ada seorang wanita yang mencintai dia dengan
sebegitu dalamnya. Hanya itu.
Dan bersama berakhirnya surat ini, aku
ingin memberitahu satu hal. Kalian tahu darimana aku tahu kisah ini? Mudah. Ini
kisah tentang kakakku. Aku adalah adik dari sang wanita gila itu. Adik dari
seorang malaikat yang terluka. Tersesat diantara banyak duka.
Setidaknya aku bisa tersenyum diantara
tangisku.
Untuk kakakku tersayang, selamat tidur.
Aku dan ayah sayang kakak. Kami juga sayang ibu. Tolong sampaikan rinduku untuk
ibu ya kak:) Tunggu aku dan ayah, disana. Suatu saat nanti, akau harap
kita berkumpul kembali. Aku, Kakak, Ayah, dan juga Ibu. Selamat tinggal.
TAMAT.
***
Terima kasih sudah menyempatkan
membaca, membuang waktu anda yang berharga untuk untaian kata yang sarat akan
makna ini.
TERIMA KASIH BANYAK!:))
Cerita ini sudah di post di wattpad. Untuk membaca cerita saya
yang lain bisa cek di http://www.wattpad.com/user/AnitaAregall4
Terima Kasih banyak. Saya akan lebih
senang jika anda meninggalkan jejak=))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar